Daratan
Sunda adalah surga bagi para penggemar lalab. Lalab adalah daun-daun muda dan
bagian tanaman lain seperti buah, biji ataupun bunga yang dimakan bersama
dengan makananan utama (nasi). Kebiasaan memakan lalab bagi masyarakat Sunda
sudah berlangsung turun - temurun dan masih berlangsung sampai saat ini. Bahkan
ada pepatah yang mengatakan bahwa orang Sunda tidak akan pernah mati kelaparan
jika dilepas di tengah hutan karena mereka bisa memakan semua daun yang ada.
Pepatah yang kadang digunakan sebagai bahan “guyonan” orang Jawa tersebut
sebenarnya mempunyai makna yang dalam. Mengapa demikian? Karena budaya makan
lalab mucul sebagai suatu bentuk adaptasi masyarakat Sunda terhadap alamnya
yang kaya akan keanekaragaman hayati. Kalau kita mengamati fenomena yang
terjadi saat ini, budaya makan lalab tersebut telah mengalami perubahan.
Keanekaragaman jenis lalab mulai berkurang. Menurut informasi yang dimuat dalam
buku Indische Groenten tahun 1931 (Suriawirya, 1987) disebutkan bahwa yang
namanya lalab adalah berupa tanaman liar atau tumbuh dengan sendirinya yang
kemudian dipelihara. Suriawirya menambahkan bahwa tidak satupun lalab tempo
doeloe yang termasuk sayuran seperti yang ada saat ini.
Kebenaran
pernyataan Suriawirya tersebut dapat kita lihat di rumah - rumah makan khas
Sunda sampai ke pedagang - pedagang kaki lima yang menjajakan makanan pada
malam hari. Jenis lalab yang disajikan tidak beragam dan cenderung seragam.
Daun slada dan kol (kubis) seakan menjadi lalaban utama. Petersely merupakan
lalab mahal yang disajikan di restoran-restoran. Padahal ketiga jenis lalab
tersebut adalah jenis tanaman introduksi (tanaman asing) dari negara lain.
Konsumsi
lalab yang disajikan di rumah tangga khususnya bagi keluarga yang tinggal di
perkotaan juga tidak jauh berbeda. Bahkan ada seorang ibu yang sudah cukup
berumur yang tinggal di daerah Garut mengatakan bahwa dulu ia mengkonsumsi
segala macam daun di sekitar rumahnya untuk lalab. Tumbuhan yang tumbuh liar di
pinggir jalan pun ia jadikan lalab. Tetapi kebiasaan tersebut saat ini sudah
jarang ia lakukan karena ia dengan mudah dapat memperolehnya di pasar dan lalab
yang tersedia menurutnya seperti yang dimakan oleh orang kota.
Sekelumit
pernyataan yang diutarakan oleh ibu tersebut mungkin juga terjadi pada
masyarakat Sunda lainnya. Mereka tahu akan perubahan pola konsumsi makan dengan
semakin berkurangnya dan berubahnya jenis - jenis lalab. Tetapi apakah mereka
sadar akan arti perubahan itu bagi diri mereka dan keturunannya serta bagi
keberlanjutan alam tempat mereka tinggal masih menjadi pertanyaan.
Membanjirnya
berbagai jenis lalab dan sayuran asing yang telah berhasil mempengaruhi
perubahan pola konsumsi makanan perlu kita sadari sebagai suatu fenomena yang
penting untuk diperhatikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia adalah
negara megabiodiversitas terbesar nomor dua di dunia. Perubahan pola konsumsi
makanan dan budi daya pertanian yang beralih ke tanaman asing merupakan suatu
hal yang aneh.
Apabila
dilihat dari sudut pandang biologi, fenomena di atas akan berakibat buruk pada
keberlanjutan keanekaragaman hayati kita. Erosi genetis terhadap tanaman -
tanaman lokal akan terjadi secara signifikan. Tanaman - tanaman lokal akan
punah karena tidak lagi dibudidayakan dan habitatnya digantikan oleh tanaman
asing.
Tanaman
asing yang merupakan tamu di suatu habitat yang bukan aslinya tentu saja
memerlukan perlakuan - perlakuan yang membutuhkan energi tinggi. Bahkan
seringkali diperlukan suatu kondisi ekstrem untuk mengadaptasikan tanaman asing
tersebut ke habitat barunya. Hal ini dapat kita lihat pada budidaya sayuran
atau padi. Pemupukan dan pemberantasan hama diperlukan supaya tanaman tersebut
dapat hidup dan berproduksi dengan baik. Aktivitas tersebut saat ini telah
terbukti berhasil merusak kemampuan tanah untuk membangun dirinya sendiri serta
telah menimbulkan hama yang resisten yang justru sangat merugikan bagi petani
dan terutama sangat mengganggu keseimbangan ekosistem lokal dan keberlanjutan
makhluk hidup lokal lainnya.
Punahnya
tanaman lokal juga dapat disebabkan oleh adanya invasi tanaman - tanaman asing.
Salah satu contoh adalah invasi tanaman konyal (passiflora) di hutan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Tanaman merambat ini telah mematikan
beberapa jenis tanaman asli di hutan tersebut. Jika invasi konyal ini tidak
segera ditangani maka spesies - spesies tanaman yang ada di hutan tersebut
lambat laun akan mati.
Dunia
pertanian, perkebunan dan kehutanan hendaknya bersikap hati - hati terhadap
adanya introduksi spesies asing ini. Perilaku suatu spesies tanaman di habitat
aslinya dengan di habitat asing bisa sangat berbeda. Di habitat aslinya, suatu
tanaman mungkin tidak berbahaya bagi tanaman lainnya. Tetapi di habitat asing
ia bisa menjadi sangat invasif dan dapat mematikan berbagai jenis tanaman asli
lainnya seperti kasus invasi tanaman konyal di TNGP.
Salah
satu contoh kasus menarik lainnya adalah hasil penyelidikan oleh G.F. van der
Meulen, seorang ahli pertanian tanaman tropika dari universitas Wageningen
Belanda. Ia menemukan suatu jenis tanaman herba Eupatorium odoratum di daerah
Jawa Barat pada tahun 1953. Jenis tanaman ini sangat ganas, ia mampu
mengalahkan dan membunuh tanaman alang - alang yang juga merupakan salah satu
rumput ganas di daerah terbuka.
Menurut
Meulen, keberadaan Eupatorium beserta tanaman legume seperti Centrosema
pubescen, Tephrosia candida dan Pueraria javanica mampu membangun unsur hara
tanah. Tanaman-tanaman tersebut dapat menggantikan fungsi hutan asli dalam
menciptakan unsur hara tanah.
Hasil
penelitian Meulen ini perlu kita analisis secara cermat. Di satu sisi tanaman
tersebut dapat membangun unsur hara tanah (soil builder), tetapi di sisi lain
keganasan tanaman tersebut dapat mematikan jenis tanaman asli yang tumbuh
rendah di daerah terbuka. Apabila tanaman tersebut berada di dekat daerah
hutan, maka pembukaan hutan secara liar akan menjadi lahan empuk bagi invasi
jenis asing tersebut. Barangkali tanaman pohpohan yang merupakan jenis asli yang
hidup liar di hutan akan hilang dan kita tidak akan pernah dapat menikmatinya
lagi. Nasibnya akan sama dengan lalab tempo doeloe seperti buni, koang, godobos
dan lain-lain yang kini tinggal kenangan. Demikian juga dengan jenis - jenis
lainnya, sementara itu kita belum sempat melakukan domestikasi dan melakukan
budi daya terhadap jenis - jenis tanaman asli tersebut.
Apabila
hal tersebut terjadi di seluruh wilayah Indonesia, kita dapat membayangkan
betapa besar kerugian secara ekonomi oleh hilangnya jenis - jenis tanaman asli
yang merupakan sumber gen di masa depan. Kemandirian untuk memenuhi kebutuhan
pangan dengan tanaman kita sendiri tidak dapat dilakukan lagi. Kita akan
semakin bergantung dengan tanaman asing yang kadangkala benihnya pun harus kita
beli dari daerah asalnya.
Selain
itu munculnya jenis - jenis tanaman asing yang sangat invasif akan
mengacaubalaukan perkembangan keanekaragaman hayati asli kita. Kerawanan pangan
dan kelaparan bukanlah hal yang mustahil di masa depan jika kondisi ini tidak
cepat diantisipasi.
Prediksi
akan kerawanan dan kelaparan tersebut bukanlah mengada - ada. Kita dapat
melihat dan menyadarinya melalui fenomena - fenomena yang ada di lingkungan
kita selama ini. Masyarakat Sunda barangkali tidak akan lagi menikmati lalab
segar khas daerahnya. Mereka akan sangat familiar dengan jenis lalab dan sayur
- mayur dari daerah lain sementara jenis lalab dan sayur aslinya sendiri yang
jumlahnya jauh lebih beragam tidak lagi mereka kenal. Lalu siapakah yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap keadaan masyarakat dan alam di masa depan nanti ?”
Seandainya keanekaragaman hayati asli benar - benar kacau dan rawan pangan
benar - benar terjadi, siapakah yang harus disalahkan dan bertanggung jawab ?
Apakah kita sebagai manusia, alamnya sendiri ataukah sistem yang kita bangun di
alam ini ?
Saat
ini pilihan ada di depan kita semua. Memilih tanaman asing atau tanaman lokal
atau kedua–duanya. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa alam beserta
keanekaragaman hayatinya bukanlah hak generasi saat ini saja. Keturunan kita
juga berhak menikmati kondisi alam yang sehat. Oleh sebab itu penting bagi kita
untuk berbuat dan memikirkan alam beserta keanekaragaman hayatinya guna
kelangsungan hidup saat ini dan di masa depan. Dengan demikian masyarakat Sunda
tetap dapat menikmati pucuk daun pohpohan sebagai lalab. Demikian pula dengan
daerah – daerah lainnya di Indonesia. Di masa datang, mereka tetap dapat
menikmati pangan hasil dari tanaman asli milik sendiri.
(Ibu Sri
Indiyastuti)