Minggu, 06 Februari 2011

Terjadinya Longsor


19.08 | ,

Tanah longsor sendiri merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng satu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah "sudut mengaso" atau sudut di mana material ini akan tetap stabil. Bebatuan kering akan tetap di tempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi tanah yang basah akan mulai meluncur jika sudut lereng lebih dari 1 atau 2 derajat saja.

Longsor terjadi saat lapisan bumi paling atas dan bebatuan terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Hal ini biasanya terjadi karena curah hujan yang tinggi, gempa bumi, atau letusan gunung api. Dalam beberapa kasus, penyebab pastinya tidak diketahui. Longsor dapat terjadi karena patahan alami dan karena faktor cuaca pada tanah dan bebatuan. Kasus ini terutama pada iklim lembab dan panas seperti di Indonesia. Ketika longsor berlangsung lapisan teratas bumi mulai meluncur deras pada lereng dan mengambil momentum dalam luncuran ini, sehingga luncuran akan semakin cepat (sampai sekitar 30 meter/detik). Volume yang besar dari luncuran tanah dan lumpur inilah yang merusak rumah-rumah, menghancurkan bangunan yang kokoh dan menyapu manusia dalam hitungan detik.

Meskipun tanah longsor merupakan gejala alam, beberapa aktifitas manusia bisa menjadi faktor penyebab terjadinya longsor, ketika aktifitas ini beresonansi dengan kerentanan dan kondisi alam yang telah disebutkan. Contoh aktifitas manusia ini adalah penebangan pepohonan secara serampangan di daerah lereng; Penambangan bebatuan, tanah atau barang tambang lain yang menimbulkan ketidakstabilan lereng; Pemompaan dan pengeringan air tanah yang menyebabkan turunnya level air tanah, pengubahan aliran air kanal dari jalur alaminya, kebocoran pada pipa air yang mengubah struktur (termasuk tekanan dalam tanah) dan tingkat kebasahan tanah dan bebatuan (juga daya ikatnya); Pengubahan kemiringan kawasan (seperti pada pembangunan jalan, rel kereta atau bangunan), dan pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan.

Para ilmuwan mengkatagorikan tanah longsor sebagai salah satu bencana geologis yang paling bisa diperkirakan. Ada tiga parameter untuk memantau kemungkinan terjadinya perpindahan massa tanah dalam jumlah besar dalam bentuk longsor, yaitu:
1. Keretakan pada tanah adalah ujud yang biasa ditemui pada banyak kasus. Bentuknya bisa konsentris (terpusat seperti lingkaran) atau paralel dan lebarnya beberapa sentimeter dengan panjang beberapa meter, sehingga bisa dibedakan dari retakan biasa. Formasi retakan dan ukurannya yang makin lebar merupakan parameter ukur umum semakin dekatnya waktu longsor;
2. Penampakan runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar;
3. Selanjutnya kejadian longsor di satu tempat menjadi parameter kawasan tanah longsor lebih luas lagi. Perubahan-perubahan ini seiring waktu mengindikasikan dua hal: kerusakan lingkungan (misalnya penggundulan hutan dan perubahan cuaca secara ekstrim) dan menjadi tanda-tanda penting bahwa telah terjadi penurunan kualitas landskap dan ekosistem.

Pemantauan Kawasan Rawan Longsor dan Langkah Mitigasi
Kegiatan survei dilakukan untuk mengidentifikasi pola-pola gerakan tanah di kawasan kawasan di mana longsor diperkirakan terjadi. Ini dilakukan dengan pengukuran geofisika dan geologi, dengan memasang alat-alat ukur gerakan tanah. Faktor-faktor yang membuat kawasan tertentu lebih rawan longsor dibandingkan kawasan lainnya diukur. Diantara faktor ini adalah jenis dan distribusi tanah dan bebatuan, kemiringan lereng, cara air mengalir di permukaan dan di bawah permukaan tanah, besaran pengaruh cuaca, dan kerentanan pecah pada bebatuan.

Sebagian pekerjaan survei, seperti kemiringan lahan (diturunkan dari data topografi dan kontur), deteksi aliran air permukaan, klasifikasi umum jenis tanah dapat dilakukan secara langsung menggunakan tehnik penginderaan jauh (remote sensing). Sebagian lainnya dilakukan dengan memadukan pekerjaan survei lapangan dan interpretasi citra satelit. Pekerjaan survei dapat dibatasi untuk mengambil kawasan-kawasan contoh (sampling) yang digunakan untuk pemetaan kawasan luas dengan tehnik pengolahan citra hasil penginderaan jauh.

Dari suvei di atas peta-peta tematis, seperti peta geomorfologis dan peta geologis tentang jenis-jenis bebatuan dan karakteristiknya, dapat diproduksi. Peta-peta ini menjadi dasar bagi penataan ruang dan langkah-langkah mitigasi, seperti penerapan sistem peringatan dini dan pengkajian tingkat resiko longsor pada kebijakan pertanahan. Hal ini menjamin berlangsungnya proses yang tepat pada pembangunan kawasan-kawasan baru dengan mengkaji hal-hal yang terkait dengan kestabilan lereng. Penataan ruang untuk pembangunan diarahkan pada kawasan dengan resiko ketidakstabilan longsor rendah atau sangat rendah.

Sistem informasi resiko longsor di atas juga dapat digunakan sebagai landasan praktis misalnya untuk pemindahan jalur jalan atau menentukan kawasan khusus tempat bebatuan jatuh, sehingga tidak menimbulkan kerusakan dan gangguan pada arus lalu lintas.

Pada kasus lain bisa disarankan untuk memperbaiki kawasan lereng secara intensif, misalnya dengan mengokohkan permukaan tanah ke lapisan di bawahnya dengan melakukan pengecoran atau membangun sistem pengairan untuk mengurangi erosi air dan menjaga kestabilan tanah. Pekerjaan-pekerjaan ini menjadi tanggung jawab pemerintah, karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga-tenaga terampil di bidang tehnik sipil dan geologi.

Sebagai penutup, tak ada yang dapat menghentikan kekuatan alam yang berujud tanah longsor ini, tetapi kita bisa meminimalisasi akibat-akibatnya. Oleh karenanya informasi yang sudah dikompilasi melalui penelitian dan pengkajian di atas mesti disebarluaskan secara jelas dan populer kepada masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah rawan longsor. Pengetahuan dan informasi ini menolong masyarakat untuk melindungi diri dan harta mereka. Pendekatan-pendekatan pendidikan dan sosial terpadu amat diperlukan pada tahapan penginformasian ini.


0 komentar: